Wednesday, April 20, 2011

Qodha dan Qadar ; Khazanah Akidah Islam

Dasar Perintah Beriman Kepada Qodha dan Qodar Allah

Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi oleh seorang laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam. Lelaki itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah menjawab:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaekat-malaekat-Nya, kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman pula kepada qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut berkata” Tuan benar”. (H.R. Muslim)
Fakta adanya dua pengertian yang bertolak belakang

Pendapat pertama :
Qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar adalah perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Dengan kata lain bahwa QADAR ADALAH PERWUJUDAN DARI QADHA. Dan  hubungan antara qadha dan qadar menurut pendapat ini adalah ibarat RENCANA DAN PERBUATAN.

Pendapat Kedua:
Qadar atau taqdir  artinya adalah suatu rencana yang telah ditentukan oleh Allah SWT, dan segala sesuatu akan terjadi sesuai dengan qadhar yang telah ditentukan. Sedangkan qadha artinya adalah keputusan Allah SWT terhadap suatu rencana yang telah ditentukan. Dengan kata lain, pengertian ini terbalik dengan pengertian yang pertama, dalam hal rencana dan perbuatan Allah.

Secara bahasa bisa jadi dua pengertian di atas akan mempunyai kesamaan makna, dan boleh jadi berlandaskan dalil yang sama, namun ketika sudah berhubungan dengan istilah, masing-masing mempunyai logikanya sendiri-sendiri dalam meletakan istilah qodha dan qadar hubungannya dengan istilah KETETAPAN dan KEPUTUSAN Allah atau antara RENCANA dan PERBUATAN Allah.

Inti Masalah
v      Orang sering menyebut qodha dan qadar itu dengan satu istilah, yaitu TAKDIR yang meniscayakan akan adanya kekuasaan Allah, kehendak Allah, ketetapan Allah, dan keputusan Allah.
v      Diskursus yang berkembang menyangkut takdir ini adalah pada masalah; hubungan antara KEHENDAK Allah dengan USAHA atau KEBEBASAN manusia dan sejauh mungkin ingin menelusuri di mana letak KEADILAN Tuhan dalam ketakberdayaan manusia.

Polemik
Masalah PEBUATAN manusia, KEHENDAK Tuhan dan KEADILAN Tuhan telah panjang lebar dibahas oleh semua agama, bahkan telah ditinjau dari segi banyak filsafat. Dalam sejarah Islam khususnya, telah melahirkan beberapa mazhab pemikiran dalam menyikapi masalah ini. Dan yang paling populer adalah dua poros besar yang saling bertolak belakang, yaitu aliran JABARIAH (Fatalisme) dan QODARIAH (free will). Jabariah berpandangan bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas dalam hidupnya dan segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Allah SWT semata (determinisme). Pandangan ini cenderung membuat hidup sudah ditentukan oleh Allah. Sebaliknya, Qadariah berpandangan bahwa Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk menentukan hidupnya. Oleh karena itu, apapun yang diperbuat oleh manusia adalah berkat usaha dan kemampuannya sendiri serta tidak ada lagi campur tangan Allah didalamnya (undeterminisme).

Namun tidak satupun aliran dan pemikiran yang dapat memberikan penjelasan tuntas dan mumuaskan akal. Betapa Allah telah menegaskan dalam al-Quran akan keterbatasan pengetahuan manusia :
وَمَآأُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. 17:85)

Dan akhirnya kita akan behenti pada satu terminal pemikiran sebagaimana yang diucapkan oleh Fakhruddin ar-Razi di akhir usianya:

نِهَايَةُ اَقْدَامِ اْلعُقُوْلِ عُقَّالٌ.  وَاَكْثَرُ سَعْيِ الْعَالمَِيْنَ ضَلاَلٌ.
              وَمَا أَسْتَفَدْنَا مِنْ بَحِثْنَا طُوْلَ عُمْرِنَا.  سِوَى أَنَّ جَمْعَنَا فِيْهِ قِيْلَ وَ قَالُوْا

“Akhir dari kesungguhan akal manusia adalah keterbelengguan, dan kebanyakan usaha manusia menuju kesesatan. Kita tidak memperoleh sepanjang usia pencarian kita, kecuali mengumpul bahwa menurut si A begitu, dan menurut si B begini.”

SARAN
Logika akal manusia memang tidak akan menemukan esensi keadilan Tuhan, kaitannya dengan kehendak Allah dan perbuatan manusia. Persoalannya bukan memperpanjang perdebatan masalah takdir, akan tetapi yang paling mendekati kebenaran adalah bagaimana manusia MENYIKAPI  takdir Allah.

Sikap kita terhadap takdir yang dimaksud adalah PENYERAHAN diri kepada Allah Swt. Penyerahan diri di sini bukan ‘pasrah’ sebagaimana sikap fatalismenya aliran Jabariah, akan tetapi peyerahan diri yang diwujudkan dalam bentuk konkret; BERAMAL atau BERUSAHA sekuat- sekemampuan manusia sesuai dengan tuntunan Allah. Dengan kata lain TAKDIR HIDUP MANUSIA adalah BERBUAT. Karena sesungguhnya manusia telah diberikan POTENSI (kadar) untuk berbuat dan menentukan jalan hidupnya:
الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى.  وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
yang menciptakan,dan menyempurnakan (penciptaan-Nya). dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk. (QS.87:2-3)

Hal mana juga telah ditegaskan dalam hadits Nabi dan telah dicontohkan oleh perilaku sahabat, Umar ibnu Khatab.

Berikut adalah hadits nabi dalam menjawab persoalan takdir :

Diriwayatkan melalui Ali bin Abi Thalib kw., bahwa berkata:

كُنَّا فِيْ جَنَازَةِ بِبَقِيْعِ الْغَرْقَدِ فَأَتَى رَسُوْلُ اللهِ (ص) فَقَعْدَ وَفَعَدْنَا حَوْلَهُ وَبِيَدِهِ مِخْصَرَةٌ فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهَا اْلاَرْضَ ثُمَّ قَالَ: مَا مِنْكُمْ مِنْ اََحَدٍ اِلاَّ وَقَدْ كَتَبَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ. فَقَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَ نَتْكِلُ عَلَى كِتَابِنَا؟ فَقَالَ اِعْمَلُوْا فَكُلُّ مَيْسِرٍ لِمَا خَلَقَ لَهُ. اَمَّا مَنْ كَانَ اَهْلَ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيْرُ اِلَى عَمَلِ السَّعَادَةِ وَاَمَّا مَنْ كَانَ اَهْلَ الشِّقَاءِ فَيَصِيْرُ اِلَى عَمَلِ اَهْلِ الشِّقَاءِ. ثُمَّ قَرَأَ : فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى.  وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى.  فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى  (رواه البخارى)

Suatu ketika kami berada pada sebuah upacara pemakaman di Baqi al-Gharqad, lalu Rasulullah saw. dating dan duduk, sehingga kami pun duduk mengitari beliau. Tangan beliau memegang sebuah tongkat dan dengan tongkat itu menggores-goreskannya  ke tanah seraya berkata: ”Tidak seorangpun dari kalian melainkan masing-masing telah tercatat tempatnya di neraka atua di surge.” Para sahabat ra. berkata: “ Wahai Rasulullah, tidakkah sebaiknya kita berserah saja pada ketetapan yang ditetapkan bagi kita itu?” Nab Saw. bersabda: “Beramallah, karena masing-masing telah dimudahkan (untuk melakukan) sesuatu yang ia tercipta untuknya. Siapa yang tergolong kelompok orang-orang yang berbahagia, maka dia akan berjalan sesuai dengan amal perbuatan orang-orang yang memperoleh kebahagiaan. Adapun yang tergolong kelompok orang-orang yang celaka, maka dia akan berjalan menuju amal perbuatan kelompok orang-orang celaka, “kemudian beliau membaca:
 فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى.  وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى.  فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Dan sikap konkret dalam menyikapi takdir ini telah ditunjukan oleh Saidina Umar ibnu Khatab. Diriwayatkan bahwa satu wilayah telah terkena wabah penyakit. Lalu Umar ibnu Khatab ra. bersiap-siap untuk meninggalkan wilayah itu. Sahabat Nabi saw., Abu Ubaidah ra. mencegahnya sambil berkata:” wahai umar, apakah engkau menghindar dari takdir Allah swt.?”Umar ra. menjawab: “Aku menghindar dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.” Demikian Umar ra. berusaha sambil menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt.

1 comment: